Liputan6.com, Jakarta - DPR menuding pemerintah selalu mengkambing hitamkan kondisi ekonomi global yang bergejolak sebagai penyebab pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Adapun gejolak ekonomi global yang saat ini terjadi adalah kebijakan-kebijakan baru Presiden AS Donald Trump serta perang dagang yang terjadi antara AS dengan China.
Menjawab tudingan tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan, depresiasi yang melanda rupiah memang diakibatkan oleh sentimen eksternal. Selain itu, anjloknya rupiah juga sebagai imbas dari krisis yang terjadi beberapa negara yaitu Turki dan Argentina.
"Kami mohon maaf permintaan kedua, di mana pemerintah selalu menyampaikan kondisi negara lain, faktanya memang begitu," kata Sri Mulyani di Gedung DPR RI, Selasa (4/9/2018).
Dia menegaskan, pemerintah tidak berdiam diri saja dengan kondisi tersebut. Untuk melindungi fundamental ekonomi domestik pemerintah telah mengambil beberapa keputusan yang cukup berani.
Salah satunya adalah upaya menyelamatkan defisit neraca perdagangan dengan cara mengurangi impor agar rupiah bisa kembali terdongkrak.
Adapun kebijakan tersebut berupa penyesuaian tarif pajak penghasilan (PPh) impor untuk 900 komoditas impor. Aturan akan segera diterbitkan dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan (PMK). "Besok pagi akan lakukan penerbitan PMK dalam rangka atur impor barang konsumsi," ujar dia.
Dia berharap dengan dikeluarkannya PMK tersebut dapat mengurangi celah antara impor dan ekspor yang saat ini cukup jauh. Selain itu, kebijakan tersebut juga bertujuan menjaga kekuatan cadangan devisa Indonesia agar stabilitas rupiah tetap terjaga.
"Kita akan terus jaga kebutuhan devisa dalam negeri tetap bisa dipenuhi, sheingga sektor usaha yang masih membutuhkan barang barang bahan baku dan batang modal tertentu bisa dijaga," kata dia.
Tidak hanya itu saja, Sri Mulyani juga mengungkapkan saat ini pemerintah tengah mengkaji ulang beberapa proyek infrstruktur dengan bahan baku impor yang pengerjaanya bisa ditunda hingga kondisi rupiah stabil.
"Kita telah menseleksi proyek-proyek yang nanti akan disampaikan oleh menteri terkait apa yang bisa ditunda. Yang belum melakukan financial closing jadi permintaan devisa bisa dikembalikan,” kata dia.
Sebelumnya, Michael Wattimena anggota fraksi partai Demokrat menyampaikan pemikirannya mengenai kondisi rupiah saat ini. Dia menjelaskan, Indonesia punya sejarah pahit mengenai krisis moneter yaitu yang terjadi 20 tahun silam tepatnya tahun 1998.
"Indonesia ini adalah negara yang besar, kita punya pengalaman yang pahit pada tahun 1998 di mana Indonesia pernah mengalami krisis ekonomi," ujar dia.
Dia menegaskan, hal tersebut jangan sampai terulang kembali. Oleh sebab itu dia meminta pemerintah segera melakukan tindakan-tindakan untuk mengatasinya. Sebab saat ini rupiah sudah mulai merangkak ke level 14.500 per dolar AS.
"Kami sangat mencintai Indonesia dan memiliki pengalaman pahit di mana Indonesia mengalami krisis ekonomi," ujar dia.
Dia meminta, pemerintah jujur dan terbuka mengenai kondisi ekonomi saat ini kondisi ekonomi global yang bergejolak selalu dituding menjadi penyebab rupiah terdepresiasi.
Padahal, lanjutnya, dalam nota keuangan yang disampaikan Presiden Jokowi pada 16 Agustus 2018 terkait RAPBN 2019, nilai tukar rupiah diasumsikan 14.400 per dolar AS.
"Nilai tukar yang diasumsikan meningkat. Jadi kondisi ini, tolong Menkeu jelaskan secara jujur keadaan ekonomi saat ini. Sebab kita tidak ingin dalam situasi 1998 yang mengalami krisis ekonomi. Nota keuangan saja yang disampaikan oleh Presiden Rupiah berada pada mendekati 14.800 padahal hari ini sudah ingin mencapai 14.900, untuk itu saat ibu menjelaskan kami mohon ibu menjelaskan secara jujur. Saya pikir janganlah kita kaitkan masalah-masalah ini dengan negara lain yang tidak ada kaitannya," kata dia.
Reporter: Yayu Agustini Rahayu
Sumber: Merdeka.com
from Berita Hari Ini, Kabar Harian Terbaru Terkini Indonesia - Liputan6.com https://ift.tt/2MIyacS
No comments:
Post a Comment